Selasa, 23 Agustus 2011

Catatan Akhir Ramadhan

Innalhamdalillahi nahmaduhu wanasta’iinuhu wanastaghfiruhu Wana’udzubiillah minsyurruri ‘anfusinaa waminsayyi’ati ‘amaalinnaa Manyahdihillah falah mudhillalah Wa man yudhlil falaa haadiyalah Wa asyhadu allaa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh.

[Segala puji bagi Allah yang hanya kepadaNya kami memuji, memohon pertolongan, dan mohon keampunan. Kami berlindung kepadaNya dari kekejian diri dan kejahatan amalan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkan, dan barang siapa yang tersesat dari jalanNya maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Dan aku bersaksi bahwa tiada sembahan yang berhak disembah melainkan Allah saja, yang tiada sekutu bagiNya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hambaNya dan RasulNya]

* * *

ALHAMDULILLAH...masih kita yang statusnya hamba, diberikan nikmat iman dan islam serta nikmat umur dan kefahaman sehingga ketika ini kita masih diberi kesempatan untuk tetap melangsungkan ibadah khusus dan umum, berbuat sesuatu untuk bekal kita di akhirat nanti.
Moga kita sentiasa mendapat hidayah dan taufiqNya. InsyaAllah.

* * *
Bismillaahirrahmaanirrahiim....
Ya Allah, betapa kami tak bisa berbuat lebih banyak di rama-dhan ini. Betapa kami hanya mampu untuk mereguk nikmat, mereguk senang, tanpa bisa sedikit pun berikan yang terbaik untukMu. Di bulan ini kami lebih banyak meminta ketimbang mengerjakan seruanMu. Ramadhan bagi sebagian dari kami, tak ubahnya sebuah pesta. Ramadhan bagi segolongan dari kami, sekadar ekstravaganza ibadah. Nyaris hanya secuil yang bisa kami maknai kemuliaannya.
Ya Allah, kami ingin mengadu kepadaMu. Meski kami malu karena selalu memalingkan wajah dari perintahMu. Kami mencoba meng-hempaskan beban yang kami derita. Kami ber-upaya untuk membuang semua penat di jiwa kami. Di akhir ramadhan ini kami cuma bisa mengeluh. Bahkan adakalanya keluhan itu bersumber dari kebodohan kami yang buta atas titahMu. Sepertinya kami tak pantas berbagi dengan-Mu. Terlalu banyak persoalan yang sebenarnya bersumber dari kesombongan kami, kejahilan kami, dan dari bebalnya kami.
Ya Allah, ijinkan kami untuk bersimpuh di hadapan-Mu. Melunturkan dosa dan memu-darkan penyakit yang berkarat di hati. Meski kami malu membeberkan luka-luka ini. Karena luka yang kami miliki, juga akibat kami tak mampu memenuhi syariatMu. Kami merasa berada di dalam sebuah lorong yang gelap, dingin, sepi dan sunyi. Hati kami terasa kering, meski setiap hari dibasuh dengan kalimat-kalimatMu yang sejuk. Jiwa kami berdebu, mes-ki setiap detik disapu firmanMu. Ramadhan bagi kami, ternyata hanya menyisakan luka, perih, dan sepi.
Sebagian dari kami tak bisa meman-faatkan kesempatan di bulan suci ini. Kami lebih suka menjadikannya sebagai sarana me-mupuk popularitas dan kekayaan. Kami pilu, ketika sebagian dari kami, umat Nabi Muhammad saw. ini, lebih menikmati ramadhan dengan gemerlap di layar kaca.
Mereka menutupi wajahnya dengan topeng. Bahkan berani menipu kami. Memen-jarakan kami ke ruang gelap sebuah kenistaan. Itu sebabnya, hari-hari kami sepanjang ramadhan ini, lebih banyak dihabiskan untuk menemani mereka di layar kaca membawakan program-program spesial ramadhan yang dikemas amat menghibur.
Di akhir ramadhan ini, luluskanlah permintaan kami untuk menyampaikan sesuatu, meski apa yang akan kami sampaikan Engkau pasti sudah mengetahuinya. Kami mencoba meraih sisa-sisa kekuatan kami yang nyaris musnah ditelan kesombongan kami.
Akhir ramadhan yang membosankan kami. Mungkin sebagian dari kami merasa memiliki sesuatu yang berharga untuk menjadi bekal setelah ramadhan. Tapi sebagian lagi dari kami, hanya membawa beban di akhir ramadhan ini.
Engkau pasti tahu, bahwa sebagian besar dari kami selalu tidak ajeg untuk meniti hidup pasca ramadhan. Ramadhan ternyata tidak membuahkan takwa, ramadhan hanya berlalu dan diisi dengan kekosongan.
Ya Allah, pertengahan Ramadhan ini, beberapa selebritis di negeri ini protes kepada sebagian dari kami yang mencoba mengingatkan mereka. Mereka tak rela kehidupannya diusik. Mereka marah besar atas imbauan sebagian dari kami yang menyebutkan mereka cuma islam sesaat. Ya, di bulan raamdhan ini..
Mungkin mereka malu. Bahwa selama ini aktivitasnya memang membuat noda di ramadhan. Tapi kami yakin, sebagian besar dari kami kini sudah cukup merasa paham untuk bersikap. Namun, hal ini tetap menyisakan perih dan pilu di hati kami. Betapa, mereka sudah banyak yang tidak peduli dengan seruanMu. Kami juga mohon maaf, karana hanya bisa mengeluh di hadapan-Mu, tak bisa di depan mereka. Betapa kerdilnya jiwa kami.
Tapi kami masih bisa berharap, bahwa apa yang kami lakukan merupakan wujud peduli kami untuk berbuat yang terbaik. Meski kami yakin banyak sekali kekurangan. Ini juga menjadi catatan akhir ramadhan yang membuat kami harus bekerja lebih giat dan optimal dalam menyebarkan Islam.
Catatan akhir ramadhan yang kurang bagus ini, membuat kami tertantang untuk selalu mengalirkan darah segar untuk perjuangan yang suci ini. Kami mohon ampun kepadaMu, dan berikanlah kekuatan kepada kami untuk terus melaju melawan kedzaliman.
Kami masih terpuruk
Sejak awal ramadhan hingga menjelang akhir ramadhan ini, kami, kaum muslimin, masih terpuruk dan terperangkap dalam penderitaan. Saudara-saudara kami di Palestina mengawal ramadhan ini dengan tetap penuh ketakutan. Sahur dan buka mereka selalu diintai rasa cemas. Bahkan di dalam rumah miliknya pun rasa cemas dan takut itu terus menghantui.
Kami yang tinggal di negeri-negeri yang sedikit aman, mampu makan sahur dan berbuka dengan segala kenikmatan yang ada. Tapi, sau-dara-saudara kami di Palestina berbuka dengan puncratan darah setelah dipukuli begundal-begundal Yahudi di penjara-penjara yang pengap dan gelap.
Sebagian dari kami mungkin sudah kehilangan rasa solidaritas itu, habis dikikis gaya hidup hedonis yang mengakar kuat di negeri kami. Hingga kami tak mampu mendengar rintihan saudara kami di Palestina yang terluka. Bahkan luka itu terlalu dalam untuk mereka miliki.
Di akhir ramadhan ini, saudara kami di Uzbekistan, Kyrgistan, Chechnya, dan wilayah Asia Tengah lainnya merasakan hal yang sama. Jeritan mereka pun tak bisa kami dengar. Terhalangi batas wilayah nasionalisme yang dibuat untuk menelikung kami semua, kaum muslimin.
Sebagian dari kami sudah lupa dengan sabda NabiMu, bahwa kami bersaudara. Bahwa kami saling memiliki rasa dan harapan yang sama. Itu sebabnya, sebagian dari kami lebih memilih untuk tidak melibatkan diri dalam perjuangan, meski hanya menemaninya dengan doa. Betapa kami tak mampu berbuat banyak.
Di akhir ramadhan ini, isu terorisme tidak berhenti berhembus ditujukan kepada kami, kaum muslimin. Hinga membuat sebagian dari kami kewalahan dan akhirnya tidak tahan dengan predikat muslim yang selama ini disandangnya. Kesetiaan kepada Islam dari sebagian kami melepuh berganti alergi luar biasa. Islam ternyata membuat sebagian dari kami tidak merasa aman. Tapi sebaliknya membuat sebagian dari kami resah. Kami menyadari bahwa ini adalah bagian dari sebuah perang peradaban. Perang di mana kami harus lebih cantik lagi untuk melawan. Sekali lagi, barangkali karena kami kurang optimal melawan mereka. Akhirnya, kami tetep terpuruk.
Catatan akhir ramadhan di bidang sosial-ekonomi sangat memprihatinkan. Angka kriminalitas tak surut di bulan ramadhan ini. Setidaknya jika kami lihat di tayangan berita kriminal di hampir seluruh stasiun televisi. Tayangan berdarah-darah seolah sudah akrab di mata kami, hingga membuat tak risih lagi, bahkan menikmati kekerasan tersebut.
Hal yang umum menjelang akhir ramadhan adalah harga-harga sembako yang meroket tajam. Entah siapa yang menyulut, yang pasti ketika penjual melipatgandakan harga, pembeli tidak protes sedikit pun, bahkan dengan polos menyebut, “sudah biasa”.. Atau mungkin merasa tidak efektif untuk berteriak protes. Bisa jadi.
Sebagian dari kami menjelang akhir ramadhan ini lebih asyik di pusat-pusat perbelanjaan ketimbang i'tikaf di masjid-masjid. Sregep berburu untuk memilih baju lebaran dan beragam makanan, ketimbang menjaring lailatul qadar . Jalanan padat, masjid berubah jadi museum. Sepi. Ya, kami masih terpuruk di segala bidang.
Perjuangan kita belum selesai
Sobat muda muslim, selain kita mengukur apa yang telah kita lakukan di bulan pernah berkah, rahmat, dan ampunan ini, juga kita tumpahkan energi peduli kita untuk teman-teman yang masih tetap ‘istiqomah' dalam kemaksiatannya. Nggak jarang kita jumpai, saudara kita yang masih berprinsip “semau gue” dalam berbuat. Malah tetep maksiat meski di bulan suci dan mulia ini. Astaghfirullah.
Kepada mereka, sikap peduli layak kita berikan. Tentu ini sebagai tanda kasih kita kepada mereka. Sebagai tanda cinta kita kepada mereka. Sebab kita adalah saudara seakidah. Bedanya, kita sudah mulai ingin benar dalam hidup ini, teman-teman—yang karena keterbatasan ilmunya—masih betah maksiat.
Kita pantas cemas menyaksikan polah teman-teman yang menjalani puasa hanya sebatas menahan diri dari makan dan minum doang. Sementara, mereka tetep keukeuh pacaran, tetep membuka auratnya, tetep tidak mengontrol mata, telinga, dan hatinya dari perbuatan kotor dan nista. Kita khawatir banget, jangan-jangan, cuma mendapatkan rasa lapar dan haus dari puasanya itu. Rugi deh. Rasulullah saw. bersabda: “Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi mereka tidak menda­patkan apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga” (HR Ahmad)
Saat ini, masyarakat kita sepertinya sederhana saja memandang kehidupan ini. Ringan aja menghadapi dinamikanya. Kita sedikit meragukan jika masyarakat ini masih menyimpan rasa peduli akan kebenaran. Sebab, buktinya banyak yang menyepelekan kebenaran. Individu memang banyak yang berbuat salah. Tapi yakinlah, ini akibat dari lingkungan tempat hidupnya. Sudahlah takwa individu carut marut, dan ini jumlahnya banyak, eh, masyarakat secara umum juga udah terbiasa dengan kemaksiatan yang berlangsung dalam kehidupannya. Bahkan celakanya ada yang sampe menganggap bahwa itu emang bagian dari kehidupan sekarang. Individu dan masyarakat yang udah jebol ini makin diperparah dengan kedodorannya negara dalam mengatur rakyat. Karuan aja, makin surem deh kehidupan ini.
Itu sebabnya, mes-kipun kita gembar-gembor mengkampanyekan untuk melakukan perbaikan indi-vidu. Tapi dalam waktu yang bersamaan nggak dibarengi dengan mengubah masyarakat, maka kemungkinan besar akan mengalami kegagalan. Sebab, masalah akan terus berputar di situ. Jadi, mari ubah individu, dengan melakukan perubahan terhadap masyarakat. Jadikan masyarakat ini sebagai masyarakat Islam. Masyarakat yang diatur dalam negara yang menerapkan syariat Islam.
Dengan begitu, kita tak perlu cemas, sedih, dan prihatin lagi menyaksikan kondisi kaum muslimin saat ini. Bukan hanya setiap habis Ramadhan, tetapi sepanjang waktu. Sebab, semuanya udah benar. Tinggal diarahkan aja. Sekarang? Kita harus membenarkan sekaligus mengarahkan. Relatif berat bukan?
Oke deh, moga-moga kita nggak cemas dan prihatin lagi setiap habis Ramadhan gara-gara mikirin kondisi umat ini. Tapi ya, selama kita hidup di bawah sistem kapitalisme seperti sekarang ini, kehidupan senantiasa diliputi rasa cemas, dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk saat seperti ini, setiap habis Ramadhan. Cemas, kalo umat ini akan balik bejat lagi setelah Ramadhan berlalu. Ya, jangankan nanti, saat Ramadhan aja masih banyak yang memamerkan kesombongannya dengan nggak mau taat kepada aturan Allah dan RasulNya.
Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang mendapat berkah, rahmat, dan ampunan. Dan senantiasa memohon kepada Allah agar kita digolongkan kepada orang-orang yang berjuang demi tegaknya syariat Islam di muka bumi ini. Sekali lagi kita ngingetin, mari ubah individu dengan melakukan perubahan terhadap masyarakat. Setuju kan? Harus Setuju! Keep ukhuwah en tetep semangat! [solihin]

Rabu, 17 Agustus 2011

PERBEDAAN ANTARA SYI'AH DAN AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH


Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) dianggap sekedar dalam masalah khilafiyah Furu’iyah, seperti perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah, antara Madzhab Safi’i dengan Madzhab Maliki.
Karenanya dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, mereka berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU dengan Muhammadiyah sekarang bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi Ukhuwah Islamiyah, lalu mengapa antara Syiah dan Sunni tidak dilakukan ?.
Oleh karena itu, disaat Muslimin bangun melawan serangan Syiah, mereka menjadi penonton dan tidak ikut berkiprah.
Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada apa yang mereka ketahui.
Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Disamping kebiasaan berkomentar, sebelum memahami persoalan yang sebenarnya.
Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzahab Syafi’i.
Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i, hanya dalam masalah Furu’iyah saja. Sedang perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah), maka perbedaan-perbedaannya disamping dalam Furuu’ juga dalam Ushuul.
Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur'an mereka juga berbeda dengan Al-Qur'an kita (Ahlussunnah).
Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa Al-Qur'annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan.
Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah mengatakan : Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri.
Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan sebagian dari perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dengan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).

1.      Ahlussunnah         : Rukun Islam kita ada 5 (lima)
a)      Syahadatain
b)      As-Sholah
c)      As-Shoum
d)      Az-Zakah
e)      Al-Haj
Syiah                     : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:
a)      As-Sholah
b)      As-Shoum
c)      Az-Zakah
d)      Al-Haj
e)      Al wilayah
 
2.      Ahlussunnah         : Rukun Iman ada 6 (enam) :
a)      Iman kepada Allah
b)      Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
c)      Iman kepada Kitab-kitab Nya
d)      Iman kepada Rasul Nya
e)      Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat
f)       Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.
Syiah                     : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)*
a)      At-Tauhid
b)      An Nubuwwah
c)      Al Imamah
d)      Al Adlu
e)      Al Ma’ad

3.      Ahlussunnah         : Dua kalimat syahadat
Syiah                     : Tiga kalimat syahadat, disamping Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam mereka.

4.      Ahlussunnah         : Percaya kepada imam-imam tidak termasuk rukun iman. Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat.
Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.
Syiah                     :  Percaya kepada dua belas imam-imam mereka, termasuk rukun iman. Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka.

5.      Ahlussunnah         : Khulafaurrosyidin yang diakui (sah) adalah :
a)      Abu Bakar
b)      Umar
c)      Utsman
d)      Ali Radhiallahu anhum
Syiah                     : Ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak diakui oleh Syiah. Karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai'at dan mengakui kekhalifahan mereka)
6.      Ahlussunnah         : Khalifah (Imam) adalah manusia biasa, yang tidak mempunyai sifat Ma’shum.
Berarti mereka dapat berbuat salah/ dosa/ lupa. Karena sifat Ma’shum, hanya dimiliki oleh para Nabi.
Syiah                     : Para imam yang jumlahnya dua belas tersebut mempunyai sifat Ma'’hum, seperti para Nabi.

7.      Ahlussunnah         : Dilarang mencaci-maki para sahabat.
Syiah                     : Mencaci-maki para sahabat tidak apa-apa bahkan Syiah berkeyakinan, bahwa para sahabat setelah Rasulullah SAW wafat, mereka menjadi murtad dan tinggal beberapa orang saja. Alasannya karena para sahabat membai'at  Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah.

8.      Ahlussunnah         :  Siti Aisyah istri Rasulullah sangat dihormati dan dicintai. Beliau adalah Ummul Mu’minin.
Syiah                     : Siti Aisyah dicaci-maki, difitnah, bahkan dikafirkan.

9.      Ahlussunnah         : Kitab-kitab hadits yang dipakai sandaran dan rujukan Ahlussunnah adalah Kutubussittah :
a)      Bukhari
b)      Muslim
c)      Abu Daud
d)      Turmudzi
e)      Ibnu Majah
f)       An Nasa’i
(kitab-kitab tersebut beredar dimana-mana dan dibaca oleh kaum Muslimin sedunia).
Syiah                     : Kitab-kitab Syiah ada empat :
a)      Al Kaafi
b)      Al Istibshor
c)      Man Laa Yah Dhuruhu Al Faqih
d)      Att Tahdziib
(Kitab-kitab tersebut tidak beredar, sebab kebohongannya takut diketahui oleh pengikut-pengikut Syiah). 

10.  Ahlussunnah         : Al-Qur'an tetap orisinil
Syiah                     : Al-Qur'an yang ada sekarang ini menurut pengakuan ulama Syiah tidak orisinil. Sudah dirubah oleh para sahabat (dikurangi dan ditambah).

11.  Ahlussunnah         : Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul Nya.
Neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak taat kepada Allah dan Rasul Nya.
Syiah                     : Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang cinta kepada Imam Ali, walaupun orang tersebut tidak taat kepada Rasulullah.
Neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang memusuhi Imam Ali, walaupun orang tersebut taat kepada Rasulullah.

12.  Ahlussunnah         : Aqidah Raj’Ah tidak ada dalam ajaran Ahlussunnah. Raj’ah adalah besok diakhir zaman sebelum kiamat, manusia akan hidup kembali. Dimana saat itu Ahlul Bait akan balas dendam kepada musuh-musuhnya.
Syiah                     : Raj’ah adalah salah satu aqidah Syiah. Dimana diceritakan : bahwa nanti diakhir zaman, Imam Mahdi akan keluar dari persembunyiannya. Kemudian dia pergi ke Madinah untuk membangunkan Rasulullah, Imam Ali, Siti Fatimah serta Ahlul Bait yang lain.
Setelah mereka semuanya bai'at kepadanya, diapun selanjutnya membangunkan Abu Bakar, Umar, Aisyah. Kemudian ketiga orang tersebut disiksa dan disalib, sampai mati seterusnya diulang-ulang sampai  ribuan kali. Sebagai balasan atas perbuatan jahat mereka kepada Ahlul Bait.
13.  Ahlussunnah         : Mut’ah (kawin kontrak), sama dengan perbuatan zina dan hukumnya haram.
Syiah                     : Mut’ah sangat dianjurkan dan hukumnya halal. Halalnya Mut’ah ini dipakai oleh golongan Syiah untuk mempengaruhi para pemuda agar masuk Syiah. Padahal haramnya Mut’ah juga berlaku di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib.

14.  Ahlussunnah         : Khamer/ arak tidak suci.
Syiah                     : Khamer/ arak suci.

15.  Ahlussunnah         : Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap tidak suci.
Syiah                     : Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap suci dan mensucikan.

16.  Ahlussunnah         :  Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri hukumnya sunnah.
Syiah                     : Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri membatalkan shalat.
(jadi shalatnya bangsa Indonesia yang diajarkan Wali Songo oleh orang-orang Syiah dihukum tidak sah/ batal, sebab meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri).

17.  Ahlussunnah         : Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat adalah sunnah.
Syiah                     : Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat dianggap tidak sah/ batal shalatnya.
(Jadi shalatnya Muslimin di seluruh dunia dianggap tidak sah, karena mengucapkan Amin dalam shalatnya).

18.  Ahlussunnah         : Shalat jama’ diperbolehkan bagi orang yang bepergian dan bagi orang yang mempunyai udzur syar’i.
Syiah                     : Shalat jama’ diperbolehkan walaupun tanpa alasan apapun.

19.  Ahlussunnah         : Shalat Dhuha disunnahkan.
Syiah                     : Shalat Dhuha tidak dibenarkan.
(padahal semua Auliya’ dan salihin melakukan shalat Dhuha).
 
Demikian telah kami nukilkan perbedaan-perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).  Sengaja  kami  nukil  sedikit saja,  sebab apabila kami nukil
seluruhnya, maka akan memenuhi halaman-halaman buku ini.
Harapan kami semoga pembaca dapat memahami benar-benar perbedaan-perbedaan tersebut. Selanjutnya pembaca yang mengambil keputusan (sikap).
Masihkah mereka akan dipertahankan sebaga Muslimin dan Mukminin ? (walaupun dengan Muslimin berbeda segalanya).
Sebenarnya yang terpenting dari keterangan-keterangan diatas adalah agar masyarakat memahami benar-benar, bahwa perbedaan yang ada antara Ahlussunnah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) itu, disamping dalam Furuu’ (cabang-cabang agama) juga dalam Ushuul (pokok/ dasar agama).
Apabila tokoh-tokoh Syiah sering mengaburkan perbedaan-perbedaan tersebut, serta memberikan keterangan yang tidak sebenarnya, maka hal tersebut dapat kita maklumi, sebab mereka itu sudah memahami benar-benar, bahwa Muslimin Indonesia tidak akan terpengaruh atau tertarik pada Syiah, terkecuali apabila disesatkan (ditipu).
Oleh karena itu, sebagian besar orang-orang yang masuk Syiah adalah orang-orang yang tersesat, yang tertipu oleh bujuk rayu tokoh-tokoh Syiah.
Akhirnya, setelah kami menyampaikan perbedaan-perbedaan antara Ahlussunnah dengan Syiah, maka dalam kesempatan ini kami menghimbau kepada Alim Ulama serta para tokoh masyarakat, untuk selalu memberikan penerangan kepada umat Islam mengenai kesesatan ajaran Syiah. Begitu pula untuk selalu menggalang persatuan sesama Ahlussunnah dalam menghadapi rongrongan yang datangnya dari golongan Syiah. Serta lebih waspada dalam memantau gerakan Syiah didaerahnya. Sehingga bahaya yang selalu mengancam persatuan dan kesatuan bangsa kita dapat teratasi.
Selanjutnya kami mengharap dari aparat pemerintahan untuk lebih peka dalam menangani masalah Syiah di Indonesia. Sebab bagaimanapun, kita tidak menghendaki apa yang sudah mereka lakukan, baik di dalam negri maupun di luar negri, terulang di negara kita.
Semoga Allah selalu melindungi kita dari penyesatan orang-orang Syiah dan aqidahnya. Aamiin.
.
















Sabtu, 13 Agustus 2011

WUDHU’, Mengusap Kepala termasukTelinga

MENGUSAP KEPALA
Allah ta’ala berfirman:
…وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ…
“Dan usaplah kepala-kepala kalian.” (al-Maidah: 6)
Batasan yang Wajib diUsap
Ayat di atas menunjukkan kepala tidaklah dibasuh sebagaimana anggota wudhu lainnya tetapi hanya diusap. Namun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang batasan yang wajib diusap. (Syarah Shahih Muslim, 3/107)
Perbedaan tersebut timbul karena adanya perbedaan dalam memaknakan huruf ba dalam firman Allah ta’ala di atas (Fathul Bari, 1/366). Pendapat yang ada:
1. Pendapat pertama, Cukup mengusap sebagian kepala, sebagaimana pendapat al-Imam asy-Syafi’i, sebagian pengikut al-Imam Malik, Abu Hanifah, ats-Tsauri, dan al-Auza’i rahimahumullah. Mereka kemudian berbeda pendapat lagi tentang seberapa batasan sebagian kepala tersebut. Ada yang mengatakan setengahnya, ada yang dua pertiganya, ada yang mengatakan bila diusap ubun-ubun maka sudah mencukupi, dan ada pula yang mengatakan sehelai pun sudah cukup.
2. Pendapat kedua, Wajib mengusap seluruh kepala. Demikian pendapat al-Imam Malik dan Ahmad rahimahumallah, dan inilah pendapat yang rajih. (Majmu’ Fatawa, 21/122—123, 124, Bidayatul Mujtahid, hlm. 15, Taisirul ‘Allam, 1/38)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para imam telah bersepakat bahwasanya yang dicontohkan dalam As-Sunnah adalah mengusap seluruh kepala sebagaimana hal ini telah pasti dalam hadits-hadits yang sahih dan hasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak satu pun perawi (sahabat) yang menukilkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwasanya Nabi mencukupkan mengusap sebagian kepalanya.” (Majmu’ Fatawa, 21/122)
Ditegaskan lagi oleh beliau bahwa pendapat yang benar dalam pengusapan kepala adalah mengusap seluruhnya, karena yang demikian ini ditunjukkan oleh dzahir (teks) Al-Qur’an. (lihat Majmu Fatawa, 21/123, 125)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak didapati satu hadits sahih pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau mencukupkan mengusap sebagian kepala. Akan tetapi bila beliau mengusap ghurrah (rambut bagian depan)-nya, beliau sempurnakan dengan mengusap di atas imamah (sorban)nya.” (Zaadul Ma’ad, 1/49)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Lafadz ayat (wudhu) yang datang itu secara global. Oleh karena itu, bisa jadi yang diinginkan dalam mengusap kepala adalah mengusap seluruh kepala dengan pernyataan huruf ba yang ada dalam ayat adalah huruf zaidah (tambahan), atau bisa pula mengusap sebagian kepala dengan memaknakan huruf ba yang ada sebagai tab’idhiyyah (bermakna sebagian). Akan tetapi bila ditinjau dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka akan diketahui dengan jelas bahwa yang dimaukan adalah yang awal (mengusap seluruh kepala). Tidak pula didapatkan penukilan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan beliau mengusap sebagian kepala, kecuali dalam hadits al-Mughirah yang mengabarkan beliau mengusap ghurrah dan imamahnya….” (Fathul Bari, 1/363)
Sementara asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa seandainya seseorang hanya mengusap jambulnya tanpa mengusap bagian kepala lainnya maka hal tersebut tidaklah mencukupinya. Dalilnya firman Allah ta’ala, “Usaplah kepala-kepala kalian”, dan Allah ta’ala tidaklah mengatakan, “Usaplah sebagian kepala-kepala kalian.” Huruf ba dalam bahasa Arab tidaklah datang dengan makna tab’idh sama sekali. Ibnu Burhan berkata, “Siapa yang menganggap huruf ba dalam bahasa Arab datang dengan makna tab’idh maka sungguh ia telah salah dan keliru.” (asy-Syarhul Mumti’, 1/151)
Mengusap Kepala dengan Air Baru
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunan-nya membawakan bab “Keterangan yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau mengambil air baru untuk mengusap kepalanya”, dengan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّهُ رَأَى النَّبِيُّ  تَوَضَّأَ، وَأَنَّهُ مَسَحَ رَأْسَهُ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدَيْهِ
“Ia pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dan beliau mengusap kepalanya bukan dengan air sisa yang ada pada kedua tangannya.”
Kemudian al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah menyatakan, “Mayoritas ahlul ilmi mengamalkan hadits ini, mereka berpandangan untuk mengambil air baru ketika mengusap kepala.” (Sunan Tirmidzi, 1/26—27)
Inilah pendapat yang rajih dari kalangan ahlul ilmi, insya Allah.
Adapun pendapat yang membolehkan mengusap kepala dengan air sisa yang ada pada kedua lengan dengan berpegang dengan hadits ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha —bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap kepalanya dengan air sisa yang ada pada kedua lengannya–, merupakan pendapat yang lemah. Karena, hadits yang dijadikan dalil tersebut pada matannya ada kegoncangan (idhthirab), di mana periwayatan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no. 384) dari Syarik, dari Ibnu ‘Aqil, dari ar-Rubayyi’ radhiyallahu ‘anha, menyelisihi matan yang ada dengan pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammengambil air baru kemudian beliau mengusap kepalanya. Juga di dalam sanad hadits ini ada Ibnu ‘Aqil yang dia itu dibicarakan oleh para imam seperti al-Imam Ahmad rahimahullah. Al-Imam Ahmad mengatakan, “Ibnu ‘Aqil ini munkarul hadits (orang yang diingkari haditsnya).” Bisa kita lihat pembicaraan hadits ini dalam ‘Aunul Ma’bud (1/150—151) dan Tuhfatul Ahwadzi (1/115—117).
Ibnul Mundzir rahimahullah setelah membawakan perselisihan yang ada, menyatakan, “Yang aku senangi bila seseorang ingin mengusap kepalanya, hendaklah ia mengambil air baru. Namun bila hal itu tidak ia lakukan dan ia mengusap kepalanya dengan air yang masih ada di tangannya dari sisa mencuci lengan, maka aku berharap hal tersebut mencukupinya.” (al-Ausath, 1/392)
Cara Mengusap Kepala
Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu ketika mencontohkan wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya:
فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا حَتَّى رَجَعَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ
“Lalu beliau mengedepankan kedua tangannya tersebut dan membelakangkannya. Beliau memulai dari depan kepalanya kemudian menjalankan kedua tangannya sampai tengkuknya kemudian beliau mengembalikan keduanya ke posisi awal ia mengusap.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 185 dan Muslim no. 235)
Dalam hadits Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu di atas didapati bahwa beliau mengusap kepalanya dari depan kepala dengan kedua tangannya, kemudian beliau mengarahkannya ke belakang kepalanya, lalu mengembalikan ke arah depan (gerakan ini dihitung sekali usapan-admin). Juga didapatkan faedah bahwasanya beliau mengusap kepalanya hanya sekali. Demikian pula yang disebutkan dalam hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu:
وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً وَاحِدَةً
“Dan beliau mengusap kepalanya sekali.” (HR. Abu Dawud no. 99, at-Tirmidzi no. 48, dan disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’us Shahih, 1/508)
Mengusap Kepala hanya sekali usapan
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan dalam Sunan-nya, “Pengusapan kepala dengan hanya sekali inilah yang diamalkan oleh mayoritas sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang setelah mereka. Demikian pendapat yang dipegangi Ja’far bin Muhammad, Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq rahimahumullah. Mereka semua meriwayatkan pengusapan kepala hanya sekali saja.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/26)
Asy-Syaukani berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa yang dicontohkan dalam As-Sunnah dalam pengusapan kepala adalah mengusapnya hanya sekali.” (Nailul Authar, 1/228)
Demikian pula yang dikatakan al-Mubarakfuri rahimahullah dalam syarahnya terhadap hadits-hadits yang terdapat dalam Sunan at-Tirmidzi (Tuhfatul Ahwadzi, 1/135).
Adapun hadits yang menunjukkan pengusapan kepala sebanyak tiga kali3 diperselisihkan ulama tentang keshahihannya. Namun yang rajih (kuat), hadits tersebut dha’if (lemah). Lihat pembahasan dha’ifnya hadits tersebut dalam Nailul Authar (1/228—300).
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Yang benar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengulang pengusapan kepala (yakni beliau hanya mengusapnya sekali), bahkan sekalipun beliau mengulang pencucian anggota wudhu lainnya. Adapun untuk kepala, beliau hanya mengusapnya sekali. Demikianlah keterangan yang datang dari beliau secara jelas. Tidak ada kabar/berita yang sahih sama sekali dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyelisihi hal tersebut. Bahkan kabar yang selain ini periwayatannya bisa jadi shahih namun tidak sharih (tidak jelas menunjukkan pengulangan dalam mengusap kepala), ataupun periwayatannya itu sharih namun tidak sahih.” (Zadul Ma’ad, 1/49)
Abu Dawud rahimahullah berkata, “Hadits-hadits ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu yang shahih semuanya menunjukkan bahwa mengusap kepala itu hanya sekali.” (Zadul Ma’ad, 1/49, Nailul Authar, 1/230)
Demikian pula yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (21/126).
MENGUSAP TELINGA
Telinga diusap bersamaan dengan mengusap kepala karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ
“Dua telinga termasuk bagian dari kepala.” (HR. Abu Dawud no. 115, at-Tirmidzi no. 37, dan Ibnu Majah no. 438, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 36)
Asy-Syaikh Muqbil berkata tentang hadits di atas, “Dengan banyaknya jalan-jalannya, hadits ini bisa dijadikan sebagai hujjah.” (Ijabatus Sa’il, hlm. 29)
Tidak mengambil air baru
Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata, “Maksud dari hadits ini adalah dibolehkan mengusap dua telinga bersamaan mengusap kepala dengan menggunakan air yang sama (tidak mengambil air baru). Demikian pendapat al-Imam Malik, Ahmad, dan Abu Hanifah.” (‘Aunul Ma’bud, 1/154)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits di atas menunjukkan dua telinga itu merupakan bagian dari kepala, maka keduanya diusap bersama dengan mengusap kepala dan ini merupakan pendapat jumhur.” (Nailul Authar, 1/231)
At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Yang diamalkan di sisi mayoritas ahli ilmu dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang setelah mereka adalah dua telinga tersebut bagian dari kepala. Pendapat inilah yang dipegangi Sufyan, Ibnul Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq rahimahumullah.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/28)
Demikian pula pendapat ‘Atha, Sa’id ibnul Musayyib, al-Hasan, ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, an-Nakha’i, Ibnu Sirin, Sa’id bin Jubair, Malik bin Anas, Qatadah, an-Nu’man, dan pengikutnya, rahimahumullah. (al-Ausath, 1/402)
Bagian telinga yang diusap
Yang diusap dari telinga ini adalah bagian luar dan dalamnya4 (bagian yang terjangkau telunjuk saat mengusap-admin), tanpa mengambil air baru namun cukup air sisa mengusap kepala. (Zadul Ma‘ad, 1/49, al-Ausath, 1/404, Subulus Salam, 1/75)
Hukum mengusap telinga
Adapun hukum mengusap telinga itu sendiri diperselisihkan oleh para ulama. Sekelompok sahabat dan mazhab Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya sama dengan hukum mengusap kepala, dengan dalil hadits yang telah disebutkan di atas, “Dua telinga termasuk bagian dari kepala.” Inilah pendapat yang rajih (kuat). Sementara jumhur ulama berpendapat mengusap telinga hukumnya mustahab (sunnah), tidak wajib. (al-Ausath, 1/400—403)
Cara mengusap telinga
Secara bersamaan tancapkan jari telunjuk ke arah lubang telinga sedasngkan ibu jari diletakkan pada pangkal bawah daun telinga, kemudian gerakan memutar setengah lingkaran dengan menjalankan ibu jari ke ujung daun telinga atas sedangkan telunjuk tetap menempel pada lubang telinga, kemudian putar balik kembali ke ujung daun telinga bawah.
TIDAK MENGUSAP LEHER
Al-Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak ada satu pun hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah pengusapan leher (tengkuk).” (Zadul Ma’ad, 1/49)
Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Dalam masalah mengusap leher tidak ada satu hadits pun yang kokoh yang bisa disifati dengan shahih ataupun hasan.” (Sailul Jarrar, 1/242)
Oleh karena itu, sudah sepantasnya bagi seorang muslim yang bertawakkal untuk mencukupkan diri pada apa-apa yang telah dicontohkan oleh suri tauladannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
MENGUSAP SORBAN/IMAMAH/JILBAB
Saat berwudhu, seseorang yang memakai imamah atau sorban tidak perlu melepas imamahnya, namun cukup mengusapnya (al-Majmu’, 1/438). Ini sebagaimana ditunjukkan hadits ‘Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ  يَمْسَحُ عَلَى عِمَامَتِهِ وَخُفَّيْهِ
“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap di atas imamah-nya dan dua khuf-nya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 205)
Hukum mengusap imamah
Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengusap imamah ini (Nailul Authar, 1/237). Namun yang rajih (kuat), mengusap imamah ini dibolehkan sebagaimana ditunjukkan hadits di atas.
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata ketika menerangkan hadits di atas, “(Bolehnya mengusap imamah) ini merupakan pendapat lebih dari seorang ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti Abu Bakr, ‘Umar, dan Anas radhiyallahu ‘anhum. Juga pendapat al-Auza’i, Ahmad, dan Ishaq.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/69)
Demikian pula pendapat ats-Tsauri dalam satu riwayat darinya, Abu Tsaur, ath-Thabari, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, dan selain mereka. (Fathul Bari,1/378)
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “(Masalah mengusap sorban ini) telah diriwayatkan dari enam sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: al-Mughirah bin Syu’bah, Bilal, Salman, ‘Amr bin Umayyah, Ka’b bin Ujrah, dan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhum. Mereka semua meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sanad-sanad yang tidak saling bertentangan dan tidak ada celaan di dalamnya. Pendapat inilah yang dikatakan oleh jumhur sahabat dan tabi’in.” (al-Muhalla, 2/60)
Mengusap rambut yang terbuka dari yang tertutup
Bila sebagian rambut tidak tertutup oleh sorban, maka disukai untuk mengusap rambut yang terbuka tersebut. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Apabila sebagian rambut terbuka—yang menurut kebiasaan, bagian tersebut memang biasa terbuka—maka disukai untuk mengusapnya bersamaan dengan mengusap imamah. Demikian pendapat al-Imam Ahmad, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengusap imamah dan jambulnya (rambut yang ada di depan kepala) sebagaimana dalam hadits al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu.” (al-Mughni, 1/182)
Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ  تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu, kemudian beliau mengusap jambulnya, mengusap di atas imamahnya, dan dua khufnya.” (Sahih, HR. Muslim no. 274)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, tidaklah mencukupkan dengan hanya mengusap jambulnya. Tapi beliau teruskan dengan mengusap imamahnya. (Majmu’ Fatawa, 21/125, asy-Syarhul Mumti’, 1/152)
Keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sesekali mengusap kepalanya, sekali waktu mengusap di atas imamahnya, serta di waktu lain mengusap jambul dan imamahnya. (Zadul Ma’ad, 1/49)
Tidak dipersyaratkan suci ketika mengenakan imamah
Sebelum mengenakan imamah, tidak disyaratkan harus bersuci terlebih dahulu sebagaimana persyaratan ini diberlakukan dalam masalah pengusapan khuf (baca pembahasan khuf di sini). Demikian pula tidak ada batasan waktu pengusapannya.
Ibnu Hazm berkata, “Mengusap imamah itu boleh dilakukan selamanya tanpa ada batas waktunya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap imamah dan khimar-nya (penutup kepala) tanpa menentukan batas waktunya. Adapun beliau biasa mengusap khufnya dengan disertai penentuan batas waktunya.” (al-Muhalla, 2/58—60)
Mengusap Jilbab/Kerudung bagi wanita
Adapun dalam permasalahan kerudung yang dikenakan oleh wanita, terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama. Di antara mereka ada yang membolehkan dan ada yang tidak.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Apabila si wanita khawatir kedinginan dan semisalnya, maka ia boleh mengusap kerudungnya karena Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pernah melakukannya. Sepantasnya bersamaan dengan mengusap kerudung ini, ia mengusap pula sebagian rambutnya. Namun bila tidak ada keperluan, maka ada perselisihan di kalangan ulama tentang kebolehannya.” (Majmu’ Fatawa, 21/218)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang permasalahan ini, “Bolehkah wanita mengusap di atas kerudungnya?” Beliau menjawab, “Pendapat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad rahimahullah adalah wanita dibolehkan mengusap di atas kerudungnya apabila kerudung tersebut menutupi seluruh kepala, dada, dan lengan atasnya. Karena hal yang demikian disebutkan riwayatnya dari sebagian wanita dari kalangan sahabat radhiallahu ‘anhunna. Kesimpulannya, bila memang hal ini menyulitkan, baik karena udara dingin maupun sulit untuk melepaskan dan melilitkannya, maka tidak mengapa diringankan bagi wanita tersebut untuk mengusap kerudungnya. Namun bila tidak ada keperluan (udzur), maka yang lebih utama ia tidak mengusap kerudungnya (akan tetapi ia mengusap kepalanya).” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 4/171)
Walaupun dalam permasalahan mengusap kerudung ini memang tidak ada nash yang sahih. (asy-Syarhul Mumti’, 1/196)
 Wallahu ta’ala a’lam.
Sumber:
  1. Tata Cara Wudhu Nabi (bagian 2). Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari. www.asysyariah.com/syariah/seputar-hukum-islam/685-tata-cara-wudhu-rasulullah-bagian-2-seputar-hukum-islam-edisi-5.html
  2. Titian Tuk Menundukkan Wajahku Dihadapan-Mu bagian 3 (Seputar Hukum Islam edisi 6. Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari. www.asysyariah.com/syariah/seputar-hukum-islam/708-titian-tuk-menundukkan-wajahku-dihadapan-mu-bagian3-seputar-hukum-islam-edisi-6.html
  3. Titian Tuk Menundukkan Wajahku didepanMu (Seputar Hukum Islam edisi 8). Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari. http://www.asysyariah.com/syariah/seputar-hukum-islam/875-titian-tuk-menundukkan-wajahku-didepanmu-seputar-hukum-islam-edisi-8.html.
  4. 4. صفة الوضوء .http://www.saaid.net/rasael/wadoo/index.htm

WUDHU’, Madhmadhah, Istinsyaq, dan Istintsar


Madhmadhah, Istinsyaq, dan Istintsar
Madhmadhah adalah memasukkan air ke dalam mulut, kemudian berkumur-kumur dengannya, lalu disemburkan keluar. (Fathul Bari, 1/335)
Istinsyaq adalah memasukkan air ke dalam hidung dengan menghirupnya sampai jauh ke dalam hidung.  (al-Mughni, 1/74, Nailul Authar, 1/203)
Istintsar adalah mengeluarkan air dari hidung setelah istinsyaq. (Syarah Shahih Muslim, 3/105)
Bersungguh-sungguh dalam Instinsyaq
Disunnahkan untuk bersungguh-sungguh dalam ber-istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung) kecuali bila sedang puasa. (al-Mughni, 1/74, al-Majmu’ 1/396, Subulus Salam, 1/73, Nailul Authar, 1/212). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَبَالِغْ فِي الْاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah engkau dalam beristinsyaq kecuali bila engkau sedang puasa.” (HR. Abu Dawud no. 123, at-Tirmidzi no. 718, dan selain keduanya, serta disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’us Shahih 1/512)
Madmadah dan istinsyaq dalam satu cidukan tangan kanan
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sesekali pernah madhmadhah dan istinsyaq dengan satu cidukan. Di waktu lain dengan dua cidukan dan sekali waktu tiga cidukan. Beliau menyambung antara madhmadhah dan istinsyaq ini. Beliau mengambil dari cidukan tersebut, setengahnya untuk mulut dan setengahnya lagi untuk hidung, dan tidak mungkin melakukan pada satu cidukan kecuali dengan cara ini. Adapun dengan dua dan tiga cidukan memungkinkan untuk memisahkan serta menyambung madhmadhah dan istinsyaq. Namun petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal ini adalah beliau menyambung antara keduanya (tidak memisahkan dengan cidukan yang berbeda) sebagaimana terdapat haditsnya dalam Shahihain dari hadits Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan madhmadhah dan istinsyaq dari satu telapak tangan, dan beliau lakukan hal itu sebanyak tiga kali. Dalam satu lafadz beliau melakukan madhmadhah dan istinsyaq dengan tiga cidukan. Inilah yang paling sahih dalam permasalahan ini.” (Zadul Ma’ad, 1/48—49)
Dalam Sunan Abi Dawud, dibawakan riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallhu ‘anhu yang mencontohkan tata cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara cara wudhunya tersebut ia melakukan madhmadhah dan istintsar tiga kali dengan menggunakan (satu cidukan) tangan yang dipakai untuk mengambil air wudhu. (Disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’us Shahih 1/508)
Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu di atas menunjukkan sunnahnya madhmadhah dan istintsar dari satu telapak tangan dengan sekali cidukan, dan dilakukan sebanyak tiga kali, dengan memerhatikan penghematan dalam menggunakan air, karena mulut dan hidung itu (dianggap) satu anggota atau bagian dari wajah. Sementara hadits Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu (HR. al-Bukhari no. 185 dan Muslim no. 235) menunjukkan sunnahnya madhmadhah dan istinsyaq dari satu telapak tangan dengan tiga cidukan. Demikian keterangan asy-Syaikh Abdullah Alu Bassam ketika memberi keterangan hadits ‘Ali dan Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma dalam kitabnya Taudhihul Ahkam.
Adapun hadits yang memisahkan antara madhmadhah dan istinsyaq dari hadits Thalhah bin Musharrif, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dha’if (lemah), karena adanya perawi yang bernama al-Laits bin Abi Sulaim. Al-Hafizh berkata tentangnya, “Orang ini dha’if.” Yahya ibnul Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Ma’in, dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah meninggalkan haditsnya. Al-Imam an-Nawawi berkata dalam Tahdzibul Asma’, “Ulama bersepakat terhadap pen-dha’if-annya” (at-Talkhis, 1/112). Di samping itu ada illat (penyakit) lain dalam hadits ini.
Kita cukupkan perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah tentang memisahkan antara madhmadhah dan istinsyaq dengan cidukan berbeda, bahwasanya tidak ada satu pun hadits yang sahih dalam permasalahan ini. (Zadul Ma’ad, 1/49)
Dalam istinsyaq ini disenangi menggunakan tangan kanan, sedangkan istintsar dengan tangan kiri (sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang disahihkan asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i hadits no. 89-pen). (al-Majmu’, 1/396, Nailul Authar, 1/209)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber:
  1. Tata Cara Wudhu Nabi (bagian 1). Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari). www.asysyariah.com/syariah/seputar-hukum-islam/658-tata-cara-wudhu-nabi-bagian-1-seputar-hukum-islam-edisi-4.html
  2. صفة الوضوء .http://www.saaid.net/rasael/wadoo/index.htm

WUDHU’, Keutamaannya

Syari’at Kesucian ini mengumpulkan banyak hikmah, faedah, dan fadhilah (keutamaan) yang menjelaskan urgensi dan kedudukannya di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Sebab suatu amalan jika memiliki banyak faedah dan fadhilah, maka tentunya karena memiliki makanah aliyah (kedudukan tinggi).
Wudhu’ disyari’atkan bukan hanya ketika kita hendak beribadah, bahkan juga disyari’atkan dalam seluruh kondisi. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan agar selalu berada dalam kondisi bersuci (wudhu’) sebagaimana yang dahulu yang dilazimi oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya yang mulia. Mereka senantiasa berwudhu, baik dalam kondisi senang atau dalam kondisi susah dan kurang menyenangkan (seperti, saat musim hujan dan musim dingin). Kebiasaan berwudhu’ ini butuh kepada kesabaran tinggi, sebab kita terkadang terserang perasaan malas. Perasaan malas ini akan hilang –Insya Allah- saat kita mengetahui keutamaan wudhu’.
Pembaca yang budiman, keutamaan-keutamaan wudhu’ kali ini kami akan tuangkan di hadapan kalian agar menjadi penyemangat dan penggerak motor semangat yang selama ini dingin dan tak tergerak. Diantara keutamaan-keutamaan wudhu’ yang terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah shohihah dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- :
1.SYARAT MEMASUKI SHALAT
Seorang ketika hendak memasuki sebuah rumah atau gedung, maka ia akan melewati pintu-pintu yang ada padanya. Pintu ini biasanya tak bisa dilewati, kecuali seseorang memiliki kunci untuk membuka pintu-pintu itu. Sebelum seseorang masuk ke dalam rumah tersebut, maka ada syarat yang harus dipenuhi. Demikianlah perumpamaan wudhu’ bagi sholat; seorang tak mungkin akan masuk dalam sebuah sholat, kecuali ia memenuhi syarat-syarat sholat, seperti wudhu’.  Oleh karena itu, Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS. Al-Maa’idah: 6)
Jadi, jika seseorang hendak sholat, maka syaratnya harus berwudhu’ sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam ayat ini dan diterangkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sunnahnya.
Wudhu merupakan salah satu syarat sahnya shalat, bahkan wudhu merupakan syarat yang paling besar dan agung. (Subulus Salam, 1/61)
Bila seorang yang masuk dalam sholat, tanpa wudhu’, maka sholatnya tak akan diterima, bahkan tak sah, sebab wudhu’ adalah syarat sahnya wudhu’, dan tercapainya pahala sholat. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Tak akan diterima sholatnya orang yang ber-hadats sampai ia berwudhu’” . [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (135 & 6954), dan Muslim dalam Shohih-nya (536) dari Abu Hurairah]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan beberapa faedah dari hadits ini, “Hadits ini dijadikan dalil tentang batalnya sholat disebabkan oleh hadats (seperti, kentut, buang air, junub dan lainnya), baik hadats itu keluar karena pilihan (sadar), maupun terpaksa”. [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (1/309), tahqiq Ali Asy-Syibl, cet. Darus Salam, 1421 H]
Demikian pula ijma’ (kesepakatan) para ‘ulama bahwasanya shalat tidak boleh ditegakkan kecuali dengan berwudhu’ terlebih dahulu, selama tidak ada udzur untuk meninggalkan wudhu’ tersebut (Al Ausath 1/107).
Contoh udzur yang dimaksud seperti tidak ada air yang bisa digunakan untuk wudhu sehingga di saat seperti ini, boleh seseorang meninggalkan wudhu dan menggantinya dengan tayammum.
Demikian pula pernyataan ijma’ oleh Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya al-Muhalla (1/71).
Dan disunnahkan berwudhu’ setiap kali akan sholat meskipun wudhu’ yang sebelumnya belum batal. Nabi -alaihishshalatu wassalam- berwudhu setiap kali mau shalat (HR. Al-Bukhari dan Imam Empat). Beliau bersabda,
“Seandainya saya tidak menyusahkan umatku niscaya saya akan memerintahkan mereka untuk berwudhu setiap kali mau shalat, dan bersama wudhu ada bersiwak.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih sebagaimana dalam Al-Muntaqa)
2.PENGHAPUS DOSA KECIL & PENGANGKAT DERAJAT
Perlu kita sadari, bahwa manusia itu bukanlah makhluk yang sempurna, bahkan Allah subhanahu wata’ala sebagai Sang Khaliq (Pencipta) mensifati manusia dengan sifat yang sering lalai dan bodoh, sehingga sering terjatuh dalam perbuatan dosa dan kezhaliman. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Sesungguhnya manusia itu amat aniaya (zhalim) dan amat bodoh.” (Al Ahzab: 72)
Ditegaskan pula dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dari sahabat Anas bin Malik:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak cucu Adam pasti selalu melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik mereka yang melakukan kesalahan adalah yang selalu bertaubat kepada-Nya.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Ad Darimi)
Akan tetapi, dengan rahmat Allah subhanahu wata’ala yang amat luas, Allah subhanahu wata’ala memberikan solusi yang mudah untuk membersihkan diri dari noda-noda dosa diantaranya dengan wudhu’. Hingga ketika seseorang selesai dari wudhu’ maka ia akan bersih dari noda-noda dosa tersebut.
Dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu’ kemudian mencuci wajahnya, maka akan keluar dari wajahnya tersebut setiap dosa pandangan yang dilakukan kedua matanya bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua tangannya, maka akan keluar setiap dosa yang dilakukan kedua tangannya tersebut bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua kaki, maka akan keluar setiap dosa yang disebabkan langkah kedua kakinya bersama air wudhu’ atau bersama tetesan akhir air wudhu’, hingga ia selesai dari wudhu’nya dalam keadaan suci dan bersih dari dosa-dosa.” (HR Muslim no. 244).
Wudhu adalah amalan ringan, tapi pengaruhnya ajaib dan luar biasa. Selain menghapuskan dosa kecil, wudhu’ juga mengangkat derajat dan kedudukan seseorang dalam surga. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ
“Maukah kalian aku tunjukkan tentang sesuatu (amalan) yang dengannya Allah menghapuskan dosa-dosa, dan mengangkat derajat-derajat?” Mereka berkata, “Mau, wahai Rasulullah!!” Beliau bersabda, “(Amalan itu) adalah menyempurnakan wudhu’ di waktu yang tak menyenangkan (seperti pada keadaan yang sangat dingin, pent.), banyaknya langkah menuju masjid [1] , dan menunggu sholat setelah menunaikan sholat [2] . Itulah ribath (pos penjagaan) [3] “. [HR. Muslim (251;586)]
Abul Hasan As-Sindiy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan amalan-amalan yang terdapat dalam hadits ini, “Amalan-amalan ini akan menutup pintu-pintu setan dari dirinya, menahan jiwanya dari nafsu syahwatnya, permusuhan jiwa, dan setan sebagaimana hal ini tak lagi samar. Inilah jihad akbar (besar) yang terdapat pada dirinya. Jadi, setan adalah musuh yang paling berat baginya”. [Lihat Hasyiyah As-Sindiy ala Sunan An-Nasa'iy (1/114)]
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ تَوَضَّئَا نَحْوَ وُضُوئِي هَذا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَينِ لاَ يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian ia shalat dua rakaat dan tidak terbetik di dalam hatinya selain dari perkara shalatnya, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 164 dan Muslim no. 226)
Dari Utsman bin Affan  wasallam- bersabda: dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ
“Barangsiapa yang berwudhu lalu membaguskan wudhunya [4] , niscaya kesalahan-kesalahannya keluar dari badannya hingga keluar dari bawah kuku-kukunya.” (HR. Muslim no. 245)
Dari Utsman bin Affan  wassalam- bahwa beliau mendengar Nabi -alaihishshalatu bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ هَكَذَا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَكَانَتْ صَلَاتُهُ وَمَشْيُهُ إِلَى الْمَسْجِدِ نَافِلَةً
“Barangsiapa berwudhu demikian niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Sedangkan shalat dan berjalannya dia ke masjid adalah dihitung sebagai amalan sunnah.” (HR. Muslim no. 228)
Al-Hafizh rahimahullah mengatakan, “Zhahir (tekstual) hadits ini menunjukkan pengampunan dosa tersebut umum, baik dosa besar maupun dosa kecil. Akan tetapi ulama mengkhususkan bahwa yang diampuni hanyalah dosa kecil karena adanya riwayat yang mengecualikan dosa besar.” (Fathul Bari, 1/327)
Jadi, seorang yang melazimi amalan-amalan tersebut dianggap telah melakukan pertahanan untuk menutup pintu-pintu setan. Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari setan, maka hendaknya ia melazimi wudhu’, menghadiri sholat jama’ah, dan bersabar menunggu sholat jama’ah lainnya.
3. TANDA PENGIKUT NABI Shallallahu ‘alaihi wasallam
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mengabarkan kepada kita bahwa beliau akan mengenali ummatnya di Padang Mahsyar dengan adanya cahaya pada anggota tubuh mereka, karena pengaruh wudhu’ mereka ketika di dunia.
تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنْ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوَضُوءُ
“Perhiasan (cahaya) seorang mukmin akan mencapai tempat yang dicapai oleh wudhu’nya”. [Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab: Tablugh Al-Hilyah haits Yablugh Al-Wudhu' (585)]
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى الْمَقْبُرَةَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا قَالُوا أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ فَقَالُوا كَيْفَ تَعْرِفُ مَنْ لَمْ يَأْتِ بَعْدُ مِنْ أُمَّتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ بَيْنَ ظَهْرَيْ خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَا يَعْرِفُ خَيْلَهُ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ الْوُضُوءِ وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mendatangi pekuburan seraya bersabda, “Semoga keselamatan bagi kalian wahai rumah kaum mukminin. Aku sangat ingin melihat saudara-saudara kami”. Mereka (para sahabat) berkata, “Bukankah kami adalah saudara-saudaramu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kalian adalah para sahabatku. Sedang saudara kami adalah orang-orang yang belum datang berikutnya”. Mereka berkata, “Bagaimana anda mengenal orang-orang yang belum datang berikutnya dari kalangan umatmu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bagaimana pandanganmu jika seseorang memiliki seekor kuda yang putih wajah, dan kakinya diantara kuda yang hitam pekat. Bukankah ia bisa mengenal kudanya”. Mereka berkata, “Betul, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya mereka (umat beliau) akan datang dalam keadaan putih wajah dan kakinya karena wudhu’. Sedang aku akan mendahului mereka menuju telaga. Ingatlah, sungguh akan terusir beberapa orang dari telagaku sebagaimana onta tersesat terusir. Aku memanggil mereka, “Ingat, kemarilah!!” Lalu dikatakan (kepadaku), “Sesungguhnya mereka melakukan perubahan setelahmu”. Lalu aku katakan, “Semoga Allah menjauhkan mereka”. [HR. Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab: Istihbab Itholah Al-Ghurroh (583)]
Seorang muslim akan dikenali oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dengan cahaya pada wajah dan tangannya. Maka hendaknya setiap orang diantara kita menjaga cahaya ini dengan menjaga wudhu, dan sholat. Abdur Ra’uf Al-Munawiy -rahimahullah- berkata, “Barangsiapa yang lebih banyak sujudnya atau wudhu’nya di dunia, maka wajahnya nanti akan lebih bercahaya dan lebih berseri dibandingkan selain dirinya. Maka mereka (kaum mukminin) nanti disana akan bertingkat-tingkat sesuai besarnya cahaya”. [Lihat Faidhul Qodir (2/232)]
Pada hari kiamat nanti, umat Nabi Muhammad Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam akan terbedakan dengan umat yang lainnya dengan cahaya yang nampak pada anggota wudhu’. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ
“Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan ghurran muhajjalin (dahi, kedua tangan dan kaki mereka bercahaya), karena bekas wudhu’.” (HR. Al Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246)
Ghurran muhajjalin yakni bercahaya anggota-anggota wudhunya. (Fathul Bari, 1/297)
dalam riwayat yang lain:
Bagaimana engkau mengenali umatmu setelah sepeninggalmu, wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Seraya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tahukah kalian bila seseorang memilki kuda yang berwarna putih pada dahi dan kakinya diantara kuda-kuda yang yang berwarna hitam yang tidak ada warna selainnya, bukankah dia akan mengenali kudanya? Para shahabat menjawab: “Tentu wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata: “Mereka (umatku) nanti akan datang dalam keadaan bercahaya pada dahi dan kedua tangan dan kaki, karena bekas wudhu’ mereka.” (HR. Mslim no. 249)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- beliau bersabda:
إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ فَمَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ
“Sesungguhnya umatku akan dihadirkan pada hari kiamat dengan wajah, tangan, dan kaki yang bercahaya [5] karena bekas-bekas wudhu mereka. Karenanya barangsiapa di antara kalian yang bisa memperpanjang cahayanya [6] maka hendaklah dia lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah menyatakan bahwa cahaya ini hanya dimiliki  karena wudhu merupakan keistimewaan umat ini yangroleh umat Muhammad  shallallahu ‘alaihi wasallam tidak diberikan kepada umat selainnya. Walaupun dalam hal ini -yakni: Apakah wudhu ini disyariatkan pada umat sebelumnya atau tidak- ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Adapun bagi kaum muslimin yang meninggal dalam keadaan belum sempat berwudhu maka dia tidak akan mendapatkan cahaya ini, hanya saja dia tetap akan dikenali oleh Nabi -alaihishshalatu wassalam- sebagai umat beliau akan tetapi dengan tanda yang lain.
4. SEPARUH IMAN
Seorang tak akan meraih pahala sholat, selain ia melakukan wudhu’, lalu mengerjakan sholat. Jadi, wudhu’ ibaratnya separuh dari iman (yakni, sholat). Ini menunjukkan kepada kita tentang ketinggian nilai dan manzilah wudhu’ di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَآَنِ أَوْ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالصَّلَاةُ نُورٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا
“Bersuci (wudhu’) adalah separuh iman. Alhamdulillah akan memenuhi mizan (timbangan). Subhanallah wal hamdulillah akan memenuhi antara langit dan bumi. Sholat adalah cahaya. Shodaqoh adalah tanda. Kesabaran adalah sinar. Al-Qur’an adalah hujjah (pembela) bagimu atau hujatan atasmu. Setiap orang keluar di waktu pagi; maka ada yang menjual dirinya, lalu membebaskannya atau membinasakannya”. [Muslim dalam Ath-Thoharoh, bab: Fadhl Ath-Thoharoh (533)]
Al-Hafizh Ibnu Rojab -rahimahullah- berkata, “Jika wudhu’ bersama dua kalimat syahadat mengharuskan terbukanya pintu surga, maka wudhu menjadi separuh iman kepada Allah dan Rasul-Nya menurut tinjauan ini. Juga wudhu’ termasuk cabang-cabang keimanan yang tersembunyi yang tak akan dilazimi, kecuali seorang mukmin”. [Lihat Iqozhul Himam (hal. 329)]
5. JALAN MENUJU SURGA
Jalan-jalan surga telah dimudahkan oleh Allah -Azza wa Jalla- bagi orang yang Allah berikan taufiq dan hidayah. Perhatikan Bilal bin Robah -radhiyallahu anhu-, beliau mendapatkan kabar gembira bahwa ia termasuk penduduk surga, sebab ia telah berusaha menapaki sebuah jalan diantara jalan-jalan surga. Dengarkan kisahnya dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-, ia berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ
“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda kepada Bilal ketika sholat Fajar, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan yang paling engkau harapkan yang pernah engkau amalkan dalam Islam, karena sungguh aku telah mendengarkan detak kedua sandalmu di depanku dalam surga”. Bila berkata, “Aku tidaklah mengamalkan amalan yang paling aku harapkan di sisiku. Cuma saya tidaklah bersuci di waktu malam atau siang, kecuali aku sholat bersama wudhu’ itu sebagaimana yang telah ditetapkan bagiku”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Jum'ah, Bab: Fadhl Ath-Thoharoh fil Lail wan Nahar (1149), dan Muslim (6274)]
Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa berwudhu’ lalu sholat sunnah setelahnya merupakan amalan yang berpahala besar. Ibnul Jauziy -rahimahullah- berkata, “Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk melakukan sholat usai berwudhu’ agar wudhu tidak kosong (terlepas) dari maksudnya”. [Lihat Fathul Bari (4/45)]
6. PELEPAS IKATAN SETAN
Setan senantiasa mengintai dan mengawasi kita. Bahkan ia selalu mencari jalan untuk menjauhkan kita dari kebaikan yang telah digariskan oleh Allah dan rasul-Nya. Diantara makar setan, ia membuat buhul pada seorang diantara kita saat kita tidur agar kita berat bangun beribadah. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ فَإِنْ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ
“Setan membuat tiga ikatan pada tengkuk seorang diantara kalian jika ia tidur. Setan akan memukul setiap ikatan itu (seraya membisikkan), “Bagimu malam yang panjang, maka tidurlah”. Jika ia bangun seraya menyebut Allah (berdzikir), maka terlepaslah sebuah ikatan. Jika ia berwudhu’, maka sebuah ikatan yang lain terlepas. Jika ia sholat, maka sebuah ikatan akan terlepas lagi. Lantaran itu, ia akan menjadi bersemangat lagi baik jiwanya. Jika tidak demikian, maka ia akan jelek jiwanya lagi malas”. [HR. Al-Bukhoriy (1142 & 3269) dan Muslim (1816)]
Al-Qodhi Abul Walid Sulaiman bin Kholaf Al-Bajiy -rahimahullah- berkata, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memaksudkan dengan hadits ini bahwa dengan dzikrullah, wudhu’, dan sholat, maka semua ikatan (buhul) setan akan terlepas, dan seorang muslim akan selamat dari makar setan, dan keburukan buhul-buhulnya. Lantaran itu, ia akan bersemangat di waktu pagi, (sedang ia telah terlepas darinya buhul-buhul yang telah membuat dirinya malas), dan jiwanya menjadi baik dengan sebab amalan kebajikan yang ia lakukan semalam”. [Lihat Al-Muntaqo (1/434) karya Al-Bajiy]
Para pembaca budiman, inilah beberapa buah petikan fadhilah dan keutamaan wudhu. Semoga menjadi pendorong bagi kita semua untuk melazimi wudhu’ demi meraih keutamaann-keutamaan tersebut di atas. Kami memohon kepada Allah agar Dia menjadikan kita sebagai ummat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang dikenali dengan cahaya wudhu’.

[1] Setiap langkah kakinya ke masjid akan dihitung sebagai amalan sunnah. Demikian pula shalat (sunnah wudhu) yang dia lakukan setelahnya. Karenanya disunnahkan untuk berjalan kaki ke masjid selama masih memungkinkan dan tidak menaiki kendaraan, demikian pula disunnahkan untuk mengerjakan shalat sunnah wudhu
[2] Orang yang berwudhu dalam keadaan dingin yang sangat akan diangkat derajatnya oleh Allah dihapuskan dosa-dosanya dan pahalanya bagaikan dia tengah berjihad di jalan Allah. Pahala seperti ini juga didapatkan oleh orang setelah dia mengerjakan shalat dia tidak pulang ke rumahnya akan tetapi dia menunggu shalat berikutnya di masjid. Karenanya disunnahkan untuk berdiam di masjid -selama memungkinkan- untuk menunggu shalat berikutnya atau melakukan amalan yang menjadi wasilah kepadanya, misalnya mengadakan pengajian antara maghrib dan isya agar para jamaah tidak pulang tapi bisa mengikuti pengajian tentunya disertai dengan niat menunggu shalat isya
[3] Ribath adalah amalan berjaga di daerah perbatasan antara daerah kaum muslimin dengan daerah musuh. Maksudnya pahalanya disamakan dengan pahala orang yang melakukan ribath.
[4] Maksud memperbaiki wudhu adalah mengerjakannya secara sempurna (mencakup rukun, wajib, dan sunnah wudhu) sesuai dengan petunjuk Nabi -alaihishshalatu wassalam-.
[5] Asal makna ghurrah adalah bulu putih pada kepala kuda yang berbulu hitam, dan makna at-tahjil adalah bulu putih pada kaki-kaki kuda yang berbulu hitam
[6] Makna memperpanjang wudhu adalah mengusahakan agar dirinya selalu di atas thaharah dengan cara selalu berwudhu setiap kali wudhunya batal walaupun tidak sedang akan shalat. Bukan maknanya menambah bagian tubuh yang dicuci melebihi apa yang ditetapkan oleh syariat
Sumber:
1. Keutamaan Wudhu, http://al-atsariyyah.com/?p=1800,
2. HIKMAH DAN KEUTAMAAN WUDHU’, Oleh: admin  :  Di: Fiqih, http://www.assalafy.org/mahad/?p=39,
3. Menguak Keutamaan Wudhu, Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 115 Tahun II